“Mundur satu slide lagi. Nah, ya, tarian ini,” ucap Mitha Budhyarto yang membuat slide operator tayangkan iring-iringan penari. Inilah Tari Wanar. 

Tari ini adalah bagian dari presentasi Amos dalam Simposium Biennale Jogja “Kuat Akar Kuat Tanah” hari kedua Sesi I (29-10). Bertajuk “Kelas dan Identitas Post-Kolonial”, sesi ini dipandu oleh Suwarno Wisetrotomo dengan menghadirkan tiga panelis, antara lain: Amos, Ken Miryam Vivekananda, dan Jean-Pascal Elbaz.

Dua layar terkembang, tayangkan sebaris perempuan berbaju kurung hijau dan berkain kuning emas.  Dilangkahkannya kaki bergantian secara perlahan. Rumbai di kedua tangan para penari bergerak seiring rombongon berjalan maju. Tayangan serasa diperlambat, sebab Tari Wanar memang bagai slow motion.

Mitha penasaran dengan diskursus soal Tari Wanar dalam kaitannya dengan memori kolektif Orang Wandan (Orang Banda yang terusir oleh Pembantaian Banda 1621). Misal, hubungan antar gerak perlahan dengan kedukaan. “Apakah ada kajian khusus Tari Wanar sebagai tari?” tanya Mitha.

Amos menyampaikan, sejauh ini belum ada kajian yang mengkhususkan diri pada Tari Wanar. “Barangkali pusat kajian seni, baik secara fisik maupun spektrum bahasan, masih terpusat di Jawa sehingga Tari Wanar belum bisa tereksplorasi,” ujarnya sekaligus mengkritik ketimpangan sumber daya antara Jawa dan pulau lainnya di Indonesia.

“Kalau syair pengiringnya justru sudah ada kajiannya. (Timo) Kaartinen yang menulis,” ujar Amos menginformasikan. Kajian yang dimaksud adalah artikel jurnal berjudul Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku setelah Perang Pala. Di sana, Kaartinen membahas tentang onotan (Ind: tangisan), langgam syair Orang Banda tentang leluhurnya yang disepak-paksa dari tanah air (Kaartinen, 2012:235).

Ken Miryam Vivekananda juga punya cerita perihal sejarah genosida di Indonesia. Dirinya pernah bertanya kepada suaminya, “Namamu Tengku, namun mengapa kau singkat hanya dengan ‘T.’?”. 

Tidak dinyana, pertanyaan ini menderek Ken untuk menyusuri lorong gelap sejarah Melayu di kawasan yang dahulunya bernama Sumatera Timur. Presentasinya yang berjudul “Malay as Method”, jawaban atas pertanyaan pada suaminya ini berakar pada pembersihan Orang Melayu yang dimobilisasi kelompok Kiri untuk mengganyang feodalisme pascakemerdekaan, tepatnya 1946.

Penyingkatan “Tengku” jadi “T.” merupakan puncak fenomena yang diistilahkan Ken sebagai “batang terendam”. Ada identitas Melayu yang mulanya sengaja direndam agar selamat dari diskriminasi. Kesengajaan ini kemudian diteruskan tanpa sadar menjadi laku budaya, sebagaimana yang terjadi pada suami Ken. “Jawabannya (suami Ken) hanyalah: Bapak menyingkatnya, saya pun demikian,” kisahnya.

Pada akhirnya adalah kekerasan yang tiada akhir. Kekerasan yang diterima Orang Melayu pada 1946 jadi salah satu pemantik pembantaian antikomunis pada 1965. Dalih kekerasan ini sempat dikritik oleh Kelana Wisnu. Menurut Pemimpin Redaksi Pustaka Pias ini, Tragedi 1965 mesti dilihat sebagai genosida oleh ABRI dibanding kekerasan horizontal.

Ken pun tidak menampik bahwa ABRI berlaku sebagai dirigen pembantaian antikomunis tersebut. Namun, kekerasan 1946 yang disebut Anthony Reid sebagai “Revolusi Sosial”, turut mengipasi pembantaian pada 1965. 

“Untuk itu, ‘Malay as Method’ perlu diarusutamakan. Mengedepankan semangat identitas yang cair; menjadikan pertemuan dan kesamaan identitas sebagai koneksi alih-alih penaklukan,” demikian rekomendasi Ken.

Genosida pun secara sublim meresap bukan hanya pada manusia-manusianya, melainkan juga pada ide. Jean-Pascal Elbaz yang bercerita tentang Etienette Benichou, aktivis komunis Prancis. Dia berperan dalam mengumpulkan 163 lukisan karya muda-mudi Prancis untuk disumbangkan ke Indonesia dan dipamerkan sebagai wujud solidaritas trans-nasional.

Bayu Genia Krishbie, peserta yang sering terlibat dalam pameran di Galeri Nasional Indonesia, terhenyak. Koleksi-koleksi lukisan Prancis itu disimpan di sana. Namun, Bayu yang beberapa kali berinteraksi dengan koleksi tersebut justru tidak mengetahui musabab lukisan-lukisan Prancis yang beberapa pelukisnya sudah menjadi maestro bisa mendarat di Indonesia.

Solidaritas transnasional, terlebih yang tersentuh komunisme seperti Etienette Benichou dan 163 lukisan, dipendam. Namun, seperti batang terendam Melayu dan nyanyian duka onotan Orang Wandan, semuanya akan naik ke permukaan. Nasib membawa 79 di antara lukisan-lukisan Prancis itu unjuk berpamer pada 1992 di Galeri Nasional Indonesia.

“Inilah tugas intelektual seperti Amos; Ken; Jean-Pascal; dan lainnya, untuk menggali kanal-kanal kebenaran lewat kerja ilmu pengetahuan,” tukas Suwarno menutup sesi panel siang itu.

 

***

 

Penulis : Ardhias Nauvaly