Latar Belakang

Simposium Khatulistiwa 2022 menjadi penting untuk menandai pergeseran konsep dan tema kerja Biennale Jogja selama beberapa tahun mendatang. Simposium kali ini akan menjadi ruang refleksi atas kerja-kerja Biennale Jogja seri khatulistiwa putaran satu selama (2011 – 2021) untuk mengantar diskusi pembuka tentang putaran kedua dari Biennale Jogja seri khatulistiwa yang akan dimulai pada 2023. Selain itu, simposium ini bisa menjadi ruang penghubung wacana antara Seri Equator I dan Equator II sehingga dapat ditarik kesinambungannya. 

Simposium Khatulistiwa juga penting untuk mempertemukan wacana arus utama di kalangan akademisi dengan wacana yang dinarasikan sebagai hasil dari kerja aktivisme dan kerja kreatif sehingga di masa depan bisa terjadi kolaborasi. Produksi pengetahuan dari dua wilayah kerja yang berbeda bisa saling memperkaya perspektif dan metode untuk menghasilkan pembacaan yang lebih beragam. 

Sebagai ruang pertemuan gagasan dan pemikiran, Simposium Khatulistiwa berupaya untuk mempertahankan ruang inklusi sehingga tidak menjadi Menara gading dalam kehidupan sosial. Melalui kolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi, diharapkan peserta simposium ini bisa terlibat aktif dalam diskusi dan memberi perspektif sesuai dengan latar belakangnya sendiri. 

Tema: Translokal dan Trans-historikal

Melalui dua kata kunci ini, Biennale Jogja Equator Putaran Kedua berupaya untuk melanjutkan cita-cita bersama untuk menjadi bagian dari penulisan ulang sejarah seni dunia dan berkontribusi pada proyek dekolonisasi seni, terutama yang berfokus pada mempertanyakan Kembali definisi dan kerangka geopolitik dunia. Pada Biennale Jogja Equator Putaran Pertama; gagasan tentang geopolitik dan internasionalisme baru dengan jelas merujuk pada sebuah wilayah fisik dalam peta (23 derajat LU dan 23 derajat LS), dan sukses mendapatkan perhatian dari berbagai pihak terkait kritisisme yang ditawarkan dan interpretasinya atas peta dunia seni baru. Bekerja sama dengan India, Arab, Nigeria, Brazil, Asia Tenggara dan Pasifik, Biennale Jogja berhasil mempertemukan narasi-narasi sejarah yang tersembunyi, serta melihat kembali jaringan internasionalisme global selatan yang didasarkan pada banyak kesamaan lanskap, iklim, kebudayaan, spiritualitas dan dampak-dampak sejarah kolonialisme. Untuk pertama kalinya, Biennale Internasional secara khusus memberi platform pada gagasan-gagasan di luar seni rupa Barat, dan mempertemukan para pelaku seni dari Kawasan-kawasan yang selama ini tidak begitu terhubung dalam internasionalisme seni. 

Gagasan global selatan dan Khatulistiwa yang menjadi titik pijak pada BJ Equator Pertama kemudian ingin dikembangkan menjadi spirit yang lebih luas, di mana BJE berupaya untuk menjalin relasi dengan negara-negara di Kawasan lain yang memiliki sejarah atau konteks yang beririsan, dalam rangka mempertanyakan relasi kuasa antara Utara- Selatan, Dunia Pertama – Dunia Ketiga, Asia/Afrika/Amerika Selatan dan Eropa/Amerika, dan sebagainya. Pada Putaran Kedua, BJE ingin membuka peluang bekerja sama dengan Kawasan lain di dunia, untuk melihat bagaimana sejarah masa lalu mempunyai spirit dekolonisasi dan keinginan untuk membongkar pola kekuasaan dari negara-negara adidaya sehingga semua negara atau semua konteks kebudayaan mempunyai posisi yang lebih berdaulat. Kami mencoba membangun khatulistiwa menjadi sebuah imajinasi kolektif bagi komunitas seni dan kebudayaan sehingga dunia seni menjadi sebuah wilayah yang lebih setara, lebih menghormati hak-hak kelompok yang terpinggir, memunculkan Kembali kebajikan dan pengetahuan lokal, serta hal-hal lain yang selama ini dipatahkan oleh dominasi kelompok-kelompok yang kuat. Kami percaya bahwa hal-hal yang berkaitan dengan politik lokasi perlu digarisbawahi untuk dapat membuka ketimpangan relasi kuasa dan melakukan eksperimen yang memungkinkan dekonstruksi relasi tersebut bisa membawa kita pada gagasan atau pengalaman kesetaraan. 

Gagasan tentang translocal dan trans-historical dimunculkan untuk memberi ruang bagi sejarah yang lain dengan spirit yang sama, meskipun berada dalam Kawasan di luar global selatan. Pengalaman selama menjalankan BJE Putaran Pertama menunjukkan bagaimana pentingnya merawat kepercayaan dan pengetahuan lokal, keterampilan yang didasarkan pada filsafat tentang alam dan kehidupan, serta kedaulatan masyarakat adat. Dalam Kawasan Global Selatan, di mana masyarakat masih hidup dalam semangat komunal dan spiritualitas yang merepresentasikan kedekatan dengan alam, ada banyak sekali prinsip kehidupan yang berharga untuk menjadi pengetahuan. BJE melalui konsep translocal berupaya menghubungkan pengetahuan di satu lokalitas dengan lokalitas lain, sistem seni dan kebudayaan yang berbasis pada situasi-situasi adat spesifik, serta artikulasi pengetahuan yang lebih berakar pada bahasa-bahasa lokal. Kami membayangkan dapat mengumpulkan seniman, komunitas, ilmuwan adat dari berbagai tempat di dunia untuk menjadi platform pertemuan atau pertukaran pengalaman melalui kerja seni budaya, baik dari masyarakat aborigin, kelompok Indian di amerika, masyarakat adat di Kanada, terutama mengumpulkan seniman dan komunitas seni Nusantara dari berbagai wilayah yang kaya dan beragam, dan beberapa lainnya. 

Sementara gagasan transhistorical menunjuk pada alur sejarah yang menjadi inspirasi bagi Gerakan sipil semacam Biennale Jogja untuk memberi kontribusi pada perubahan konstelasi kekuasaan dalam dunia seni. BJE Putaran pertama terinspirasi oleh Gerakan Asia Afrika (KAA) yang kemudian diterjemahkan menjadi Semangat Bandung (Bandung Spirit) di mana kami melihat bahwa Indonesia telah berhasil menginisiasi pertemuan negara-negara yang baru merdeka di Kawasan Asia- Afrika, dan gagasan ini menjadi warisan pemikiran yang sangat berharga yang bahkan gemanya sampai hingga Kawasan-kawasan di Eropa atau Amerika. Setelah KAA sendiri, Gerakan meluas hingga terbentuk Gerakan Non Blok, di mana salah satunya Presiden Yugoslavia pada saat itu, Joseph Broz Tito menjadi bagian dari inisiatif Eropa untuk membentuk aliansi yang tidak berpihak pada dua kekuasaan saat itu (Amerika dan Rusia). Kami melihat bahwa linimasa sejarah menjadi pijakan penting untuk melanjutkan spirit dekolonisasi yang kami perjuangkan, dan bagaimana kami melanjutkan kerja-kerja di masa lalu untuk bisa menjadi bagian dari spekulasi masa depan.