Pernahkah kita membayangkan bahwa selama ini pikiran kita dikuasai oleh suatu sistem dari luar ? Presentasi Ari Jogaiswara yang mengawali Simposium hari I berusaha merefleksikan ulang kondisi poskolonial yang terjadi di abad ini. Lebih tepatnya merujuk kepada sebuah kondisi ketika empire atau kekuatan kolonial masih mencengkeram pikiran hingga lelaku kita. Keresahan ini juga dilatarbelakangi karena kecenderungan gerakan solidaritas yang justru terserap dalam empire. Ari Jogaiswara sempat menyebutkan, “Orang orang yang melakukan praktik solidaritas cukup kesulitan mengidentifikasi posisinya dan memutuskan mana yang empire mana yang bukan. Jangan jangan kalau kita membangun solidaritas global semuanya sudah terserap ke empire.”

Melalui presentasinya, Ari berupaya memberikan suatu pembacaan terhadap kerja perawatan yang dapat dijadikan jalan dalam melakukan dekolonisasi, khususnya dekolonisasi imajinasi.  Dekolonisasi imajinasi menjadi penting karena mendorong untuk merebut kendali atas pikiran dan ingatan kita sendiri, kemudian membebaskan dari belenggu kolonisasi imajinasi. Kerja perawatan yang dimaksud Ari juga ternyata bukan sesuatu yang selalu datang dari upaya-upaya besar. Akan tetapi, perawatan yang dimulai dari hal-hal detail, kecil, dan penuh perhatian. Baginyam, untuk membuat sesuatu yang melibatkan kerja kolaboratif selalu dimulai dengan perhatian dan perawatan terhadap hal-hal kecil.

Berhubungan dengan dekolonisasi pikiran dan pengetahuan, Eka Ningtyas dalam panel yang sama mengajak kita untuk merenungkan upaya tersebut dalam konteks sejarah Indonesia. Eka berupaya menelisik sejarah tentang kebatinan atau penghayat kepercayaan. Pada zaman Belanda, organisasi kebatinan juga berusaha untuk diredam karena dipercaya akan memperkuat revolusi yang ada di masyarakat. Hal serupa juga berulang di tahun 1965 oleh pemerintah Indonesia, di mana Departemen Keagamaan tak menyetujui gerakan kebatinan karena dianggap sebagai agama baru. Dan pola-pola kolonialisme terhadap kebatinan ini muncul lagi di era Soeharto, tetapi dengan cara mereduksi nilai kebatinan melalui integrasi ke dalam kebudayaan yang lebih luas.

Padahal, dalam sejarah Indonesia organisasi kebatinan selalu mengupayakan resolusi ketika peristiwa-peristiwa buruk terjadi. Contohnya, Perang Diponegoro, Pemberontakan Petani Banten, dan Periode Revolusi Fisik Indonesia. Bahkan, mereka juga mengupayakan solidaritas yang lebih luas. Pada kongres ke-2 dan ke-3 kebatinan, terlihat adanya upaya untuk menjalin jaringan yang tidak hanya berbicara tentang Jawa, tetapi juga membangun solidaritas global-lokal. Solidaritas ini menekankan bahwa kebatinan berusaha membangun kesadaran kolektif yang lebih universal.

Bagi Eka Ningtyas, sangat disayangkan bahwa saat ini kita kehilangan satu generasi besar dari penghayat kepercayaan dan pelaku kebatinan. Padahal, kebatinan berakar pada gagasan intelektual yang kuat, menggabungkan pengaruh global-lokal, teosofi, dan penguatan identitas sebagai respons terhadap gelombang reformisme yang besar. Maka, presentasinya menjadi penting untuk merenungkan kembali sejarah resistensi dari pengetahuan lokal seperti kebatinan dan mengontekstualisasikan dengan upaya dekolonisasi pengetahuan di masa kini.

Di presentasi selanjutnya, Arif Furqon juga berupaya mengontekstualisasikan dekolonisasi pengetahuan melalui wacana sejarah. Upaya ini digelontorkan dengan perawatan arsip, khususnya arsip foto keluarga. Karena kedekatannya dengan praktik fotografi, ia dalam kolektifnya bernama Unhistoried berupaya mendedah wacana sejarah fotografi yang terpusat pada peristiwa-peristiwa besar. Arif Furqon mengutarakan bahwa riset berkutat pada medium dan penulisan sejarah fotografi sangat sentralistik sehingga sesuatu yang tidak monumental tidak akan tercatat dalam sejarah.

Sementara, keluarga jugalah “pusat” produksi wacana. Seperti yang Furqon tegaskan, “Dalam keluarga, terjadi transaksi keintiman, di mana elemen perawatan menjadi fondasi utama. Pemerintah mungkin memiliki kontrol besar atas kehidupan publik, tetapi keintiman keluarga menawarkan ruang privat di mana resistensi bisa terjadi. Dalam konteks ini, fotografi menjadi alat penting, karena sifatnya yang populer dan vernakular, memudahkan akses ke rekaman ingatan yang lebih privat.” Memaknai ulang koleksi-koleksi foto kemudian menjadi penting karena tidak hanya merawat foto, tetapi juga ingatan yang terbungkus di dalamnya. Hal tersebut juga ia nilai menjadi sebuah tantangan karena yang sulit sesungguhnya adalah merawat yang tak benda itu, yakni ingatan itu sendiri

Dalam akhir presentasinya, Arif lalu memberi refleksi yang kuat dan relevan, “Pemikiran ini mengingatkan kita bahwa merawat ingatan, baik yang material maupun non-material, adalah bentuk resistensi terhadap kelupaan sejarah dan alat untuk membuka jalan bagi masa depan yang lebih sadar akan akar budaya dan spiritualnya.”