Geletar Bandung merambat ke Tashkent. Konferensi Asia-Afrika 1955 meneguhkan tekad bangsa-bangsa bekas terjajah bahwa solidaritas itu ada dan dunia baru adalah mungkin. Begitulah Kelana Wisnu Sapta Nugraha bicara soal sastra dekolonial dalam Sesi III Simposium Khatulistiwa Biennale “Kuat Akar Kuat Tanah” hari kedua (29-10).

Sesi III ini bertajuk “Transnasional dan Transhistoris”. Selain Kelana, sesi ini turut menghadirkan dua panelis lainnya yakni Bayu Genia Krishbie dan Dhianita Kusuma Pertiwi. Merujuk tema, Kelana bicara sastra dekolonial dalam kerangka solidaritas antarbangsa, yakni mereka yang pernah diinjak kolonialisme.

Momentumnya, dalam paparan Kelana, adalah Konferensi Pengarang Asia-Afrika pertama di Tashkent, Uni Soviet pada 1958. Kala itu, delegasi Indonesia didominasi pengarang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer.

Saking pentingnya konferensi ini, papar Kelana, Rivai Apin yang turut dalam delegasi menyebutnya sebagai “renaisans bangsa antiimperialis”. Semangat “mendobrak dan membangun” ini kemudian bak lenyap pasca Soekarno lengser.

“Gelombangnya (dekolonialisasi lewat sastra) mandek sejak Orde Baru, benarkah?” tanya Arum.

Dikata terjun bebas, benar. Dibilang lenyap sepenuhnya, berlebihan. Menurut Kelana, “Semangat Bandung” diwariskan secara intertekstual dan transhistoris. Ambil contoh Tetralogi Pulau Buru-nya Pram, spirit transnasional untuk merebut kemerdekaan sangat kental di sana. “Maka ketika pembaca setelahnya berjumpa dengan roman Minke, spiritnya terwariskan,” paparnya.

Kelana mengakui ada beberapa pengarang yang punya komitmen terhadap kelompok terpinggirkan, persis semangat kemanusiaan yang dekolonial. Salah satunya adalah Mahfud Ikhwan yang gacor bicara konflik agraria dalam kepengarangannya. “Bila Mahfud hidup pada 60-an, mudah untuk bilang bahwa dia adalah pengarang Lekra,” Kelana berkelakar.

Gelombang dekolonisasi bukan hanya mandek di sastra, namun juga di medan seni-budaya lainnya. Presentasi Bayu soal “Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-negara Non-Blok pada 1995” misalnya. Meski ada spirit dekolonialisasi dengan terma “Perspektif Selatan”, kritik banyak menerpanya. Salah satunya adalah bahwa istilah “Selatan” hanya mengaburkan politik antikolonial Gerakan Non-Blok.

Ada kritik, ada pula pujian. Satu hal yang mengejutkan adalah ajang yang didanai negara ini turut melibatkan pelukis Lekra, Djoko Pekik, untuk berpamer. Saat itu, Orde Baru yang mempersetankan Kiri masih bercokol. 

Artinya, tutur Bayu, ada semangat yang coba diselundupkan; diwariskan. Tendensi itu juga terlihat dari keberadaan Hilmar Farid, sejarawan yang kemudian aktif meriset soal sejarah Kiri, dalam Seminar “Unity in Diversity in international Art”.

Kemandekan ini turut dirasakan Ken Miryam Vivekananda, peserta yang sebelumnya jadi panelis Sesi I di hari yang sama. Namun, dia agak ragu, lantas bertanya ke Dhianita, “Bagaimana dengan program Jalur Rempah? Sepertinya bagus.”

Dhianita yang memaparkan paradigma diplomasi budaya Indonesia sejak era Soekarno tidak lantas menyanggah Ken. Baginya, Jalur Rempah memang program yang ciamik. “Namun, tidak ada agenda politik yang jelas dalam program tersebut. Akhirnya, hanya mengekor pengakuan UNESCO untuk diakui sebagai bangsa berbudaya,” tukasnya menjawab Ken.

Dengan cermat dan kena, Dhianita memungkas presentasinya dengan keresahan yang valid. Digunakannya Tampomas, kapal yang jadi ajang misi budaya Soekarno, sebagai metafora kebijakan diplomasi budaya. “Saat ini, Tampomas berlabuh tanpa kemudi politik di pelabuhan sepi. Dia melempar sauh hanya untuk menjalankan program wajib,” tuturnya.

 

***

 

Penulis : Ardhias Nauvaly