Slide ke slide, presentasinya membawa peserta ke awal abad ke-20 ketika dua sarjana arsitektur Belanda, Maclaine Pont dan Wolf Schoemaker, gumun dengan ke-Jawa-an. Berdua, mereka amati bangunan Jawa bagai preparat di laboratorium.

Demikian paparan David Hutama, panelis dari Sesi II Simposium Khatulistiwa Biennale “Kuat Akar Kuat Tanah” hari kedua (29-10). Selain David Hutama, sesi yang bertajuk “Desain Vernakular dan Pengetahuan Lokal” ini juga diramaikan oleh Raden Roro Hendarti selaku pendiri Limbah Pustaka Purbalingga. Sebagai penengah, hadir Mitha Budhyarto.

“Apakah ini bagian dari Javanology?” tanya seorang peserta kepada David soal agenda dua sarjana Belanda. Javanology, getaran eksotik di mata kolonial atas ke-Jawa-an yang dipandang alien, asing di hadapan ilmu pengetahuan Eropa yang serba terukur. Tentu, jawab David.

Javanology ini pun bersumber dari agenda ekonomi-politik kolonial Belanda. Demikian David memberi penekanan. Keanehan ini tidak semata dirasionalisasi demi kepentingan ilmu pengetahuan, melainkan untuk menegaskan superioritas Eropa di atas Pribumi. 

Terbitan riset dua sarjana tadi berbahasa Belanda sehingga sirkulasinya paling jauh hanya menggapai elit pribumi yang mengenyam bangku Eropa. Oleh karena itu, pribumi hanya jadi objek yang tidak mampu mengakses produk pengetahuan tentang dirinya sendiri.

Keterbatasan metodologis membuat para sarjana Belanda terjerumus pada miniaturisasi; kecenderungan untuk menyederhanakan objek secara ekstrem agar mudah direplikasi. “Apakah mungkin menjadi modern tanpa miniaturisasi,” sergah Viriya, peserta. 

“Tidak mungkin,” jawab David dengan memutar pada definisi ‘modern’, “sebab modern yang dikukuhkan saat ini adalah situasi yang butuh miniaturisasi.” Untuk itu, perlu ada tinjauan ulang atas modernitas yang lebih kontekstual.

Bisa saja, lanjut David, masyarakat berkembang tanpa tendensi miniaturisasi. Tentu, perangkat metodologisnya mesti diperbaharui. “Kegiatan Bu Roro yang merespon kondisi alam dan sosial lewat motor bak terbuka yang jadi perpustakaan berjalan bisa disebut pengetahuan,” terang David.

Inilah yang disebutnya metis; pengetahuan sehari-hari. Sebelumnya, konsep ini sudah dibawa oleh Rahma Azizah dalam Sesi II hari pertama. David pun “mencurigai” para mahasiswa yang datang ke Limbah Pustaka hanya untuk menulis skripsi tidak ubahnya seperti Pont dan Schoemaker. 

“Mengapa tidak ‘jalan’ saja dengan Bu Roro, meresapi pengetahuan sehari-harinya,” cetusnya soal metode alternatif bernama nyantrik atau yang paling menyerupainya saat ini adalah magang.

“Adakah yang nyantrik kepada Bu Roro?” tanya Mitha. Banyak, jawabnya. Setelah belajar di Limbah Pustaka, penerapan di masing-masing daerah perlu disesuaikan lagi. Mahasiswa yang skripsian pun dikatakannya cukup membantu. 

“Kami jadi punya masukan dan bacaan gratis,” ucap Roro. Mitha, memungkas sesi, tekankan kebenaran pada judul presentasi David: “Weaponizing the Idea of Clarity”. Pengetahuan (lokal) adalah senjata masyarakat (lokal).

 

***

 

Penulis : Ardhias Nauvaly