Pagi hari (28/10), Fellalia Hasna Hanifa terpaksa “mempercepat” sidang tesisnya yang dijadwalkan pada siang nanti. Sebab, materi tesis yang terangkum dalam presentasi berjudul “Narasi dan Aksi dalam Wacana Multimodalitas Akun Twitter @WadasMelawan” mesti dipaparkannya dalam Simposium Khatulistiwa Biennale 2022 “Kuat Akar Kuat Tanah”.

Fela bersama dua panelis lainnya, Mega Nur Simanjuntak dan Annisa R. Beta, duduk sebagai panelis Sesi I dengan tajuk “Internet, Seni, dan Gerakan Sosial Baru”. Guna memoderasi perbincangan, hadir Irham Nur Anshari, dosen Ilmu Komunikasi UGM.

Beruntung Fela memajukan sidangnya sebab para peserta dan moderator urun mengkritisi temuannya. Bekal baik untuk sidang sungguhan siang nanti. Saya, misalnya, melihat bahwa ada unit analisis yang luput dalam riset Fela.

“Bagaimana interaksi @WadasMelawan dengan akun lainnya?”. Hal ini mengingat dalam Twitter, penyebaran produk suatu akun dalam bentuk cuitan bisa ditemukan akun lain lewat jejarin tidak langsung. Interaksi antar akun menjadi demikian kompleks dan tidak dimiliki oleh media sosial lainnya.

Misal, tanpa mengikuti @WadasMelawan, saya bisa bertemu cuitan tentang tambang batu andesit Desa Wadas sebab kawan saya kebetulan mengikuti @WadasMelawan lalu memijit tombol retweet di cuitan tersebut.

Fela mengaku tidak menjadikannya unit analisis; artinya interaksi antar akun di luar limitasi risetnya. Namun, dirinya mengamati ada pola tertentu yang terjadi. “@WadasMelawan me-retweet atau ‘menyukai’ cuitan sesama akun gerakan lingkungan yang berhadapan dengan otoritas pengusaha dan negara. Tindakan ini termasuk dalam pembuatan narasi representasi identitas,” paparnya.

Sebagai konteks, Fela dalam presentasinya menyebutkan produksi narasi representasi identitas @WadasMelawan untuk mempertegas garis demarkasi antara kawan dan lawan. Tentu, pikir saya, @WadasMelawan akan me-retweet akun gerakan lingkungan berbasis rakyat alih-alih akun kampanye sedotan besi.

Irham turut nimbrung pertanyaan saya. Baginya, penggunaan tagar patut diselidiki lebih lanjut. “Adakah akun-akun gerakan sosial yang menumpang ombak tagar #WadasMelawan ketika menjadi trending topics?”. Artinya, tagar dinaikkan dan digunakan secara kolektif dan multisektoral. Di sini, internet jadi moda untuk menerabas sekat ekonomi-politik; jadi alat melawan ketimpangan akses.

Demikian pula yang terjadi pada riset Mega. Dirinya mengamati, para seniman muda pasca “Bom Seni Rupa 2008”, momen ketika harga lukisan menggila, menjadikan internet sebagai wahana produksi dan distribusi karya. Fokus risetnya adalah pada penggunaan media sosial Instagram yang memang menonjolkan aspek pengalaman visual pengguna.

Opsi internet sebagai kolam berkubang dimaknai Mega sebagai siasat untuk menerabas senioritas. Tanpa patronase senior, tanpa mesti berkonco dan berjejaring dengan “orang-orang lama”, para seniman muda tetap mampu membuat dapur dan studionya tetap mengepul.

Seniman senior menyadari eksistensi media sosial dan potensinya dalam khazanah seni rupa. Namun, sebagai upaya mengamankan modal sosial sebagai senior, mereka mengabaikannya dan memilih menjadi ortodoks dalam hal ini. “Ini jadi tegangan antara yang seni dan yang bukan (seniman media sosial),” tambah Mega.

Sesuai temanya, internet melahirkan dan mendorong gerakan untuk menemukan watak baru. Annisa mengajukan proposal “Solidaritas Rasa” dalam gerakan feminisme. Baginya, membuat orang tergerak mula-mula bukan dengan kesamaan ideologi atau program politik, melainkan lewat empati.

Gugatan muncul dari Nadya, seorang peserta, “Saya rasa kampanye feminisme di internet masih mengedepankan politik ketimbang rasa.”

Bagi Annisa, betapapun proposalnya ini mengedepankan rasa, politik sebagai kompas gerakan tidak serta merta dibuang ke tong sampah. Paparannya yang menjadikan akun Instagram @lawanpatriarki menunjukkan bahwa empati adalah metode penyadaran massa.

“Namun, bila memang dirasa akun-akun yang dimaksud kelewat menggurui soal teori dan ideologi, maka perlu ada kritik. Rasa mesti dikedepankan, politik disimpan dalam internal individu atau kolektif masing-masing,” paparnya dengan berupaya memoderasi, tanpa mementahkan sama sekali pendapat Nadya.

 

***

 

Penulis : Ardhias Nauvaly