“Seni dan Aktivisme di Tengah Kapitalisme Mutakhir,” eja Manshur Zikri selaku moderator atas tema sesinya. Penekanan ada di dua kata terakhir, “Kapitalisme Mutakhir”. Ini tentu tema yang berat, ujarnya yang disambut gerundelan peserta tanda bersepakat dengan Manshur.
Simposium Khatulistiwa Biennale “Kuat Akar Kuat Tanah” melanjutkan sesi panelnya. Sesi sebelumnya, “Internet, Seni, dan Gerakan Sosial Baru”, menapaki konteks teknologi mutakhir. Sementara itu, sesi kali ini dipancang atas konteks mode produksi ekonomi kapitalisme yang kian canggih.
Konteks itulah yang coba disiasati oleh para panelis dengan perangkat seni dan aktivismenya. Rahma Azizah dengan Residensi Kecil Tani Jiwo; Natasya Devanand Dhanwani bergerak bersama Save Sangihe Island; dan Benny Widyo lewat Biennale Jatim.
Perihal seni dan aktivisme jelas terangkum oleh ketiganya. Namun yang dikhawatirkan Manshur pun muncul jua, “di mana kapitalisme mutakhirnya?”. Ketiga panelis memang tidak secara gamblang menjelaskan kapitalisme mutakhir sebagai mode produksi atau cara bermasyarakat untuk kemudian disiasati dengan ragam inisiatif seni dan aktivismenya.
Maka banting setir pun dilakukan oleh Anton, salah satu peserta, dengan bertanya soal konteks kapitalisme mutakhir. Menurut Anton, PT. TMS (perusahaan tambang emas di Sangihe) yang membiayai Festival Masamper untuk bertindak seolah pro warga adat bisa dibilang sebagai modus kapitalisme mutakhir.
Persis serupa dengan contoh pada artikel Why the Phrase ‘Late Capitalism’ Is Suddenly Everywhere. Pepsi, perusahaan kapitalis, memacak iklan Kendall Jenner yang menenggak produknya sambil berdemonstrasi melawan brutalitas polisi. Kapitalis, berpura-pura melawan dirinya, untuk menipu kelas proletar sehingga tidak jadi menghantamnya.
Maka, untuk membedah kapitalisme mutakhir dalam sesi ini, Anton bertanya soal pendanaan; baik kepada Residensi Kecil Tani Jiwo maupun Biennale Jatim. “Ini pertanyaan kuncinya,” gumam saya kepada peserta di samping. Dia mengangguk tanda setuju.
“Residensi ini diselenggarakan yayasan dan pendanaannya masih bertumpu pada pendirinya,” jawab Rahma, meski peserta belum tahu kepentingan ekonomi-politik sang pendiri yayasan tersebut. Sementara itu, Benny menyatakan bahwa Biennale Jatim VIII dibiayai secara kolektif oleh pihak-pihak yang dilibatkan. Gelaran terbaru, Biennale Jatim IX pada 2021, banyak disokong dananya oleh Goethe Institute yang didistribusikan kepada 115 program + 11 simposium di seantero kabupaten/kota Jawa Timur.
Sebenarnya, konteks kapitalisme mutakhir sudah disinggung sebelumnya. Adalah Nindityo Adipurnmo yang mempertanyakan potensi greenwashing atau sok peduli lingkungan dalam gelaran residensi. “Kami memilih untuk eksplorasi budaya warga sebagai siasat hidup alih-alih keindahannya a la mooi indie,”
***
Penulis : Ardhias Nauvaly