“Tadi ada orang perusahaan datang menggambar peta, apa artinya itu?” tutur Aditya Dipta Anindita meniru pertanyaan masyarakat adat di Jambi yang dikepung korporasi perkebunan.
Dirinya, mewakili Sokola Rimba, dan Dicky Takandare dari Udeido Collective mengisi panel Sesi IV Simposium Khatulistiwa Biennale 2022 “Kuat Akar Kuat Tanah”. Sesi bertajuk “Artikulasi Translokalitas dan Budaya Hibrida” ini dipandu oleh Titah AW, jurnalis Project Multatuli.
Berangkat dari nukilan interaksi di atas, Adit menegaskan Sokola Rimba selalu ingin dijadikan rumah bagi masyarakat adat untuk mengembangkan pengetahuan dan penghidupannya. Bersama masyarakat adat, Sokola Rimba jadikan pengetahuan sebagai perjuangan. Misal, dengan membuat peta alam versi mereka untuk menandingi peta perkebunan yang membagi-paksa kawasan hutan.
Sokola Rimba bergerak dengan menancapkan ideologinya pada akar lokalitas. Namun, mereka tidak abai bahwa perjuangan masyarakat adat melampaui sekat wilayah administratif. “Ada tujuh belas Sokola Rimba di seantero Indonesia. Semuanya berpihak pada kepentingan masyarakat adat,” jawab Adit kepada Titah yang bertanya tentang benang merah antar Sokola Rimba.
Translokalitas jadi siasat gerakan masyarakat adat untuk mempertahankan hidup. Demikian pula yang diamini Udeido Collective. Seni kontemporer yang jadi ekspresinya tidak jadi soal sebab justru mampu mengatasi diversitas bentuk kesenian suku-suku di Papua.
“Mulanya ini jadi halangan, namun berangsur teratasi. Justru, anak muda Papua kian percaya bahwa protes bisa lebih nyaring bunyinya lewat seni,” jawab Dicky atas pertanyaan Viriya, peserta, soal awal mula penerimaan masyarakat adat terhadap Udeido Collective.
Udeido Collective sadar betul pentingnya menerabas sekat kesukuan. Mereka berjuang, lewat kesenian, atas nama satu Papua. Inilah yang disebut salah satu anggota Udeido Collective lainnya sebagai “Spirit Mambesak”.
Sebelumnya, Dicky menjelaskan Mambesak adalah grup musik yang didirikan Arnold Ap, seniman sekaligus tokoh gerakan masyarakat adat Papua. Grup ini didirikannya dengan semangat translokal. Terlihat dari personilnya yang lintas suku.
Sebagaimana Sokola Rimba, Udeido Collective pun mengamini urgensi melampaui batas administratif. “Anggota kami berasal dari Yogya dan Yogyakarta,” ucap Dicky sebagai bukti bahwa kelompoknya berbenih dari semangat lintas daerah. Sebuah jawaban dari pertanyaan yang saya lempar kepadanya.
Tidak berhenti di situ, Dicky juga menyebut Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) VI pada 24-30 Oktober 2022 di Jayapura sebagai wujud pentingnya perjuangan translokal. Baginya, AMAN merupakan organisasi yang konsisten mempersatukan dan memperjuangkan nasib masyarakat adat.
Berbicara kepada para peserta simposium yang didominasi masyarakat perkotaan, Adit menggunakan nada yang persuasif. Baginya, memperjuangkan masyarakat adat adalah memperjuangkan keberlangsungan manusia, termasuk warga kota.
“Tidak bisa dipungkiri, udara dan air sehat yang kita nikmati merupakan buah dari pengetahuan lokal serta ketekunan masyarakat adat dalam menjaga alamnya; hutan dan sungainya. Maka, dukung terus perjuangan masyarakat adat!” tandasnya.
Inilah yang dikatakan Titah sebagai politisasi masyarakat adat. Pada akhirnya, upaya merawat alam dan pengetahuan lokal di tengah dunia yang makin gegas untuk menggilas rimba dan telaga adalah itikad politik radikal.
“Saking berbahayanya (aktivitas budaya lokal), Arnold Ap dibunuh bukan karena mengangkat senjata. Alih-alih, dia mati karena perannya sebagai kurator dari Papua,” pungkas Dicky. Kalimat ironik ini mengantarkan rekomendasinya kepada pegiat budaya untuk meninjau lagi diskursus dan praktik kuratorial agar mampu mengakomodasi narasi pinggiran, termasuk dari Papua.
***
Penulis : Ardhias Nauvaly