Ini kedua kalinya Anton bertanya di Simposium Biennale Jogja 2022 “Kuat Akar Kuat Tanah” pada Jumat (28-10) di Concert Hall Pascasarjana ISI. Namun, kali ini, pertanyaannya agak personal. Pada Sesi III bertajuk “Gerakan Perempuan dan Dekolonisasi”, dia bertanya apakah lelaki, seperti dirinya, bisa gabung satu saf dengan gerakan perempuan.

Pertanyaannya ditujukan kepada Astrid Reza yang mewakili Ruang untuk Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS). Dua panelis lain dalam sesi ini adalah Margareth Ratih Fernandez dan Amanatia Junda dari Perkawanan Perempuan Menulis (PPM). Perbincangan siang itu ditengahi oleh Putu Sridiniari.

Baik RUAS maupun PPM bergerak dengan semangat mengarusutamakan narasi perempuan. RUAS bergerak dalam penelusuran arsip sejarah perempuan; PPM berupaya membuka ruang yang lebih luas bagi perempuan dan kisah-kisahnya untuk bisa tercatat dalam karya sastra. Lewat inisiatif-iniisatif tersebut, mereka berharap mampu menghadirkan dunia yang lebih adil gender.

Kembali kepada Anton. Ini pertanyaan yang ingin ditanyakan oleh banyak orang, demikian Sridiniari selaku moderator mengakuinya. Astrid pun menjawab, “Boleh saja, sebab feminisme adalah soal perspektif keadilan gender. Bukan semata perihal kubu perempuan dan lak-laki.” 

Meskipun, memang pada sejarahnya, kelompok perempuan sering dipinggirkan. Begitu yang disampaikan Astrid dalam presentasinya yang bertajuk “Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia dalam Gerakan Aktivisme Transnasional di Asia dan Afrika (1950-1965)”. 

Dalam paparannya, Astrid menyebutkan beberapa tokoh gerakan perempuan seperti Fransisca Fanggidaej, Setiati Surasto, SK Trimurti, Hurusiasti Soebandrio, dan Maria Ulfah. Kelimanya bukan hanya bergerak dalam kelompok perempuan saja, namun juga berperan dalam domain yang lebih luas. Misal, Fransisca merupakan penasihat Soekarno untuk Konferensi Asia-Afrika 1965 di Aljazair selain sebagai aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Fransisca ini bersesuaian dengan salah satu prinsip gerakan perempuan Indonesia 1950-1965 pada presentasi Astrid, yakni antikolonial. Untuk mencapainya, gerakan perempuan perlu bergandeng tangan dengan kelompok lainnya, termasuk para lelaki.

Oleh karena itu, Astrid menyambut ketertarikan Anton dengan tangan terbuka. Dia menyampaikan pendiri RUAS pun ada yang laki-laki, tentunya yang berperspektif keadilan gender. 

Hal ini berbeda dengan PPM yang memang mengkhususkan diri pada perempuan. Premisnya, kisah-kisah sejarah dan penulisnya selalu didominasi oleh laki-laki. Pada proyek “Tank Merah Muda”, mereka mengajak para perempuan dari luar Jakarta untuk menuliskan kisah-kisah perempuan seputar Reformasi.  

Berbicara tentang perspektif keadilan gender, Mitha Budhyarto yang sebelumnya memoderasi ceramah kunci Jeebesch Baagchi bertanya untuk memperluas diskusi. Keluar sebentar dari kerangka gender yang biner, Mitha bertanya kepada Astrid tentang jejak queer dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia. 

“Ada pimpinan gerakannya yang lesbian namun saya lupa namanya,” jawabnya. Sosok yang dimaksud Astrid adalah Tris Metty, Ketua Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang jadi cikal bakal Gerwani.

Keterbukaan mereka, tambah Astrid, jangan dibayangkan seperti sekarang meski Gerwani terbilang cukup akomodatif soal seksualitas anggotanya. “Konteksnya saat itu LGBT masih dianggap penyakit,” tukasnya mengingatkan. 

Pertanyaan Mitha turut disambut Ratih. Dia mengaku, bersama Amanatia, baru menyadari ketiadaan peserta queer dalam PPM.

“Prinsipnya, PPM terbuka untuk segala ekspresi gender yang mengasosiasikan dirinya pada perempuan, termasuk transpuan.” Perkara belum ada yang mendaftar, menurut Ratih ini kritik agar PPM mampu menemukan formula yang tepat demi menciptakan ruang kreatif yang nyaman untuk para transpuan.

Solidaritas perempuan yang digaungkan RUAS dan PPM bersifat inklusif. RUAS, berdasarkan paparan Astrid, menjunjung solidaritas antikolonial; PPM yang berkomitmen memperluas terma “perempuan” dalam gerakan literasinya.

Maka tepatlah ketika Astrid mengajak Ratih dan Amanatia bersajak Sugiarti Siswadi, “Kepada Sahabat Asia-Afrika.” Dalam salah satu baitnya, terkandung semangat seorang organisator cum penyair perempuan untuk membuat dunia yang lebih adil secara inklusif:

Besar yang kita pertaruhkan, sahabat,

ia bernama Kemanusiaan,

ia bernama Kemerdekaan,

ia bernama Harga Diri,

Kesejahteraan dan Perdamaian,

ya, ia adalah segala!

Sahabat yang diserunya bukan hanya perempuan, namun segala kelompok. Termasuk pria, asal memperjuangkan kemanusiaan, kemerdekaan, harga diri, kesejahteraan, dan perdamaian.

 

***

 

Penulis : Ardhias Nauvaly