KEYNOTE SPEAKER : Kolektivisme dan Imajinasi Trans-Nasional oleh Baan Norg Collaborative (Jiradej Meemalai & Pornpilai Meemalai)
Baan Noorg Collaborative Arts and Culture adalah prakarsa yang dijalankan seniman nirlaba, strategi dasar untuk pengembangan masyarakat dan program penyediaan layanan praktik artistik yang berlokasi di distrik Nongpho, Ratchaburi, yang didirikan oleh jiandyin sejak 2011. Baan Noorg menjalankan alternatif interdisipliner program seni untuk mengembangkan produksi seni dan budaya kontemporer bagi masyarakat lokal dan global. Berfungsi sebagai wadah pembelajaran alternatif untuk menganalisis, berdiskusi dan berdebat secara teoritis dan praktis terhadap kondisi sosial dan masyarakat sebagai studi kasus untuk mengeksplorasi, meneliti dan mengembangkan keterlibatan masyarakat, praktik sosial, budaya dan praktik seni kontemporer di kalangan seniman, peneliti, kurator, pendidik dari berbagai bidang. Hasil yang diharapkan adalah untuk mengetahui kemungkinan hidup bersama dan mencapai komunitas yang lebih baik. Program dan kegiatan Baan Noorg sebagian didanai oleh lembaga pemerintah/non-pemerintah dan swadana.
JIANDYIN adalah duo seni interdisipliner dari Thailand. Karya mereka berfokus pada bagaimana menciptakan ruang atau bentuk yang menghasilkan hubungan antara penghuni dalam komunitas dan non-penghuni.
Jiandyin adalah seniman kolaboratif interdisipliner dari Thailand. Pornpilai Meemalai menerima gelar MA dari School of Applied Art, Royal College of Art, London, UK. Jiradej Meemalai menerima gelar MFA (Sculpture) dari Faculty of Decorative Arts, Silpakorn University, Bangkok, Thailand. Pornpilai adalah penerima Hibah Kreativitas Silp Bhirasri 2008 dari Universitas Silpakorn, Thailand. Jiradej dianugerahi beberapa kompetisi termasuk Kompetisi Seni Nasional ke-46, 2000 dan Kompetisi Seni Kontemporer Grup Kasikorn Bank, 2000.
SESI I : Kelas dan Identitas Post-Kolonial
Warisan kolonialisme sangatlah kental dalam pemahaman dan pembentukan kontemporer identitas masyarakat bekas jajahan. Hal ini kerap mendorong masyarakat tersebut untuk merangkul berbagai aspek identitas dan budaya yang seringkali saling bertentangan, terutama antara identitas dan budaya kolonial dengan identitas dan budaya masyarakat aslinya. Masyarakat Indonesia sebagai bekas jajahan tidaklah asing dengan hal ini dan terus bergulat untuk memahami identitas postkolonialnya. Menunjukkan bahwa sejatinya pemahaman akan identitas adalah ruang kolektif untuk perlawanan dan sebuah proses yang terus berlanjut. Namun tak hanya ini, gagasan akan ‘kelas’ dalam analisis wacana kolonial memberikan sebuah elemen tambahan untuk dipertimbangkan sebagai bagian dari sebuah identitas postkolonial. Kelas menjadi aspek penting terutama ketika kita melihat bahwa perlawanan terhadap kolonialisme turut didorong oleh ketidakadilan ekonomi yang diakibatkan oleh kapitalisme yang berkelindan dengan kolonialisme. Sesi ini mencoba memahami hubungan antara ‘kelas’ dengan identitas postkolonial khususnya bagaimana peran seniman dan aktivis dalam memahami kompleksitas ini melalui seni dan aktivisme mereka. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan arahan maupun cara baru dalam memahami identitas postkolonial kita saat ini.
Moderator:
- Dr. Suwarno Wisetrotomo meraih gelar doktor di Program Studi Ilmu Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Sebelumnya ia mengajar di Program Studi Manajemen Seni Rupa, Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, dan Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) di Sekolah Pascasarjana UGM. Ia juga seorang kurator Galeri Nasional Indonesia dan R.J. Katamsi ISI Yogyakarta. Dia melakukan banyak pekerjaan kurasi untuk pameran nasional, regional, dan juga internasional.
Speaker:
- Amos adalah seorang mahasiswa Ilmu Sejarah yang berkuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Amos menekuni penelitian soal sejarah rempah-rempah, terutama kajian yang berhubungan dengan pengetahuan lokal dan sejarah sosial-budaya. Ia sudah melakukan publikasi karya ilmiah dalam beberapa jurnal dan konferensi. Pada bulan Juni 2022, Amos terpilih sebagai peserta dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) 2022. Kegiatan MBJR adalah kegiatan pelayaran untuk menyinggahi titik-titik bersejarah dalam Jalur Rempah, kegiatan ini digelar oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Ia terpilih untuk berlayar dengan rute Ternate, Tidore, Banda Neira, dan Kupang.
- Ken Miryam Vivekananda adalah seorang jurnalis cum early-scholar-activist yang telah mengakrabi isu kemelayuan dan keindonesiaan selama tak kurang dari 20 tahun. Selepas studi S1-nya di Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, perempuan berdarah Melayu Kepulauan Riau ini lanjut mengajar di almamaternya. Namun, sejak 2010, Ken memilih untuk berkhidmat penuh dalam Perkumpulan Lentera Timur, sebuah perkumpulan yang ia dirikan bersama rekan-rekan jurnalis, sastrawan, akademisi, dan pegiat kebudayaan demi mengusung ide kesetaraan melalui praktik jurnalisme multikultural. Ken lantas aktif meliput dan menulis berbagai isu kebudayaan sebagai jurnalis di LenteraTimur.com.
- Jean-Pascal Elbaz bekerja di Paris sebagai jurnalis dan untuk beberapa penerbit sastra kontemporer Prancis, setelah lulus sarjana Psikologi di Paris Sorbonne. Ia datang ke Indonesia pada tahun 1991 dan bekerja untuk École Francaise d’Extrême Orient, juga mengajar bahasa Prancis di universitas sebelum bertanggung jawab atas program penerjemahan untuk Kedutaan besar Prancis. Dari tahun 1997 sampai 2006 ia mejadi direktur Pusat Kebudayaan Prancis (LIP/IFI) di Yogyakarta, Indonesia dan Aliansi Française Madras (India).
SESI II: Desain Vernakular dan Pengetahuan Lokal
Bagaimana membangun wacana dan urgensi yang berkaitan dengan Teknik, pertukangan dan ketrampilan, dari berbagai kebudayaan di Indonesia? Dalam praktik kehidupan sehari-hari, masyarakat lokal telah menunjukkan tradisi panjang produksi pengetahuan yang berbasis pada situasi iklim, lanskap, dan nilai/kepercayaan mereka, yang selama ini belum banyak dicatat, didefinisikan dan diartikulasikan sebagai bagian dari khazanah pengetahuan akademik. Dalam bidang arsitektur, desain dan rancang produk, masyarakat lokal mewarisi cara-cara membuat yang dipelajari dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sebagai pengalaman spiritual dan ketubuhan. Di sisi lain, masyarakat juga melakukan modifikasi-modifikasi jenius yang berkait dengan produk dan alat, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan ketrampilan memanfaatkan bahan-bahan lokal, yang sesungguhnya lebih dari sekadar kreativitas, juga merupakan bentuk resistensi terhadap globalisasi produksi. Sesi ini akan membahas praktik produksi pengetahuan di tingkat lokal dan bagaimana siasat masyarakat dalam dunia pertukangan dan rancangan.
Moderator:
- Dr. Mitha Budhyarto adalah dosen di Lasalle College of the Arts Singapura, dimana ia mengajar Kajian Budaya di Fakultas Design. Mitha mendapatkan gelar PhD Humanities and Cultural Studies dari University of London, Birkbeck College. Penilitiannya telah diterbitkan dan dipresentasikan di berbagai jurnal dan konferensi akademik internasional. Sebagai peniliti dan kurator, Mitha juga telah menerima hibah dari institusi nasional dan internasional.
Speaker:
- David Hutama Setiadi adalah seorang sejarawan arsitektur dan pendidik di Indonesia. Ia ditugaskan sebagai co-curator Pavilion Indonesia pada Pameran Arsitektur Internasional ke-14 dan ke-16 la Biennale di Venezia, Venesia – Italia (2014 & 2018). Pada tahun 2018-2020 ia juga terdaftar sebagai Affiliated Research Fellow di KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribean Studies) di Leiden, Belanda. Saat ini, ia mengelola NenunRuang, sebuah platform pendidikan terbuka untuk arsitektur dan desain di Indonesia.\
- Raden Roro Hendarti yang biasa dipanggil Roro lahir di Purbalingga, 6 Oktober 1973. Di tahun 2007, beliau mulai merintis perpustakaan desa bernama Pelita di tempat tinggalnya,di Desa Muntang, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Perpustakaan tersebut embrio dari terbentuknya Limbah Pustaka yang berfokus memadukan kepedulian pada literasi dan lingkungan.
SESI III: Trans-nasional dan Trans-historis
Melihat betapa kita sangat terhubung secara global, dalam hal ekonomi, politik, budaya maupun dalam ranah pribadi, namun juga secara bersamaan sangat dibatasi oleh batasan-batasan yang dibentuk dan dipertahankan oleh negara, era transnasional kita saat ini mungkin paling tepat digambarkan sebagai sebuah paradoks. Pembatasan ini tak hanya berlawanan dengan keterhubungan masif kita saat ini namun juga secara historis, menantang realitas budaya dan sejarah kita saat ini maupun di masa lampau yang selalu berinteraksi, bertabrakan, berbaur sepanjang waktu. Keterhubungan ini menjadikannya bukan hanya sebuah titik pertemuan budaya, tetapi pertemuan beragam sejarah secara simultan, pengalaman bersama akan sebuah sejarah, menghadirkan kepada kita sebuah kondisi akan kemungkinan-kemungkinan dan pertemuan-pertemuan baru. Sesi ini merupakan eksplorasi akan pengalaman transnasional dan trans-history kita dan hubungannya dengan seni maupun aktivisme, terutama bagaimana melalui seni dan aktivisme kita dapat memahami budaya maupun sejarah kita di luar batasan yang telah ditentukan oleh negara.
Moderator:
- Hendra Himawan adalah kurator dan penulis seni rupa yang banyak bekerja dengan seniman muda untuk melakukan kajian metode penciptaan seni berbasis riset artistik. Ia aktif menyelenggarakan berbagai pameran sejak 2009, dengan menjadi kurator di Sangkring Art Space (2010-2012), tim Kurator Biennale Jogja ‘Hacking Conflict’ (2015) dan Biennale Jogja ‘Age of Hope (2017) serta kurator Festival Kebudayan Yogyakarta (2018-2019). Terlibat dalam beragam program pertukaran seniman dan kerja seni kolaboratif dalam lingkup Asia Tenggara, dan sejak 2021 menjadi tim riset untuk program Broken White Project – Ace House Collective Yogyakarta. Hendra tinggal di Kota Yogyakarya, ia juga menjadi dosen di Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain FSRD ISI Surakarta.
Speaker:
- Bayu Genia Krishbie lahir tahun 1986 di Bandung, meraih gelar Sarjana Desain dalam bidang studi Kriya Tekstil dari FSRD Institut Teknologi Bandung pada 2008. Ia bekerja di Galeri Nasional Indonesia sejak 2010 sebagai staf koleksi dan dokumentasi, hingga kemudian ditugaskan sebagai kurator pengampu (in-house) sejak 2014. Ia terlibat dalam rangkaian proyek lokakarya pengembangan kuratorial Jepang dan Asia Tenggara Condition Report yang diorganisir oleh Japan Foundation Asia Center pada 2015—2017 di Jakarta, Manila, Bangkok, dan sejumlah kota di Jepang.
- Dhianita Kusuma Pertiwi adalah seorang penulis, penerjemah, dan editor. Ia menamatkan studi gelar ganda di jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Malang dan Magister Ilmu Susastra Universitas Indonesia dengan dukungan beasiswa LPDP. Tesisnya mengkaji tentang lakon wayang purwa Sesaji Raja Suya dianugerahi penghargaan Nusantara Academic Award 2020. Karya terbarunya adalah ensiklopedia istilah Mengenal Orde Baru dan karya terjemahan Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi. Saat ini, selain menjadi redaktur Footnote Press, ia rutin merilis artikel tentang sejarah dan isu sosial-politik di situs pribadinya dhiandharti.com.
- Kelana Wisnu Sapta Nugraha adalah peneliti independen, jurnalis investigasi, dan pemimpin redaksi Pustaka Pias. Ia lahir di kota Blitar dan pindah ke Bandung untuk menyelesaikan Sarjana Sastra Indonesia dengan jurusan Sejarah di Universitas Padjadjaran, di mana ia lulus dengan tesis tentang dekolonisasi sastra Indonesia selama Perang Dingin. Saat ini ia juga sedang menyelesaikan sebuah buku tentang seni rupa yang ditulis secara kolektif bersama Rakarsa Foundation.
SESI IV: Artikulasi Translokalitas dan Budaya Hibrida
Sesi ini merupakan refleksi terhadap kerja-kerja mengartikulasikan suara dan praktik dari berbagai etnis dan masyarakat adat di nusantara dalam cara dan perspektif mereka sendiri, yang memberikan penghormatan terhadap keunikan dan situasi spesifik yang dihadapi dan dihidupi oleh masyarakat. Di satu sisi, artikulasi ini menunjukkan resistensi terhadap cara pandang dominan yang selama ini mengonstruksi stereotip dan perspektif atas kelompok identitas dalam masyarakat, tetapi di sisi yang lain juga menunjukkan proses negosiasi atas hegemoni tersebut. Bagaimana kerja-kerja aktivis dan seniman dari berbagai lokalitas ini terhubung dan membangun bentuk solidaritas terhadap problem-problem yang dialami kelompok adat dari berbagai wilayah di Indonesia? Bagaimana translokalitas juga memberi ruang pada pembentukan budaya hibrida?
Moderator:
- Titah AW bekerja sebagai jurnalis independen untuk berbagai media, termasuk VICE Indonesia, Jakarta Post, dan Project Multatuli. Sejak masih menempuh studi Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM), ia telah mengelola media musik independen bernama WARN!NGMAGZ. Pernah mengikuti lokakarya Penulisan Seni Rupa dan Kuratorial oleh Ruang Rupa – Dewan Kesenian Jakarta (2016). Selain sebagai jurnalis, ia juga mengerjakan beberapa pekerjaan lain yang berbasis pengolahan narasi, riset budaya, dan penciptaan seni. Tulisan-tulisannya berfokus pada kearifan lokal, realisme magis, dan anak muda. Tulisan-tulisannya berfokus pada kearifan lokal, realisme magis, dan pemuda.
Speaker:
- Aditya Dipta Anindita menyelesaikan program sarjana di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pekerjaannya sebagai spesialis kampanye di sebuah proyek konservasi yang berlokasi di Jambi. Itulah awal perkenalannya dengan komunitas pemburu peramu Orang Rimba yang tinggal dan melestarikan kehidupannya di kelebatan hutan hujan Bukit Duabelas, Jambi.
Pada tahun 2003, Indit dan empat rekannya mendirikan Sokola Institute, sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada isu pendidikan dan masyarakat adat di Indonesia. Program pendidikan pertamanya adalah Sokola Rimba yang berlokasi di Makekal Hulu, hutan Bukit Duabelas di mana Indit menjadi kepala sekolahnya sejak tahun 2010. Kini Sokola Rimba sedang memfasilitasi inisiatif komunitas untuk mengembangkan “Perguruan Adat” sebagai upaya untuk membawa adat berjalan seiring perubahan. - Udeido Collective memfokuskan karya mereka pada diskursus sosio-kultural di Papua Nugini. Kerja-kerja kolektif mereka menyatukan berbagai aspek yang merepresentasikan turbulensi sosial di Papua seperti permasalahan manusia dan tanah, ideologi, spiritual, hingga politik. Udeido melihat seni rupa kontemporer sebagai sebuah rekonstruksi ruang yang dapat menyatukan romantisme, realita, dan utopia yang dibangun dari memori kolektif masyarakat Papua.