KEYNOTE SPEAKER : Praktik Seni Global dan Dekolonisasi oleh Jeebesh Bagchi
Jeebesh B bersama Monica N dan Shuddha S membentuk Raqs Media Collective pada tahun 1992 di Delhi, India. Kata “raqs” dalam beberapa bahasa menunjukkan intensifikasi kesadaran dan kehadiran yang dicapai dengan berputar, berputar, berada dalam keadaan revolusi. Raqs Media Collective mengartikan pengertian ini sebagai ‘kontemplasi kinetik’ dan keterjeratan yang gelisah dengan dunia, dan dengan waktu. Raqs meminta benda-benda seperti automata harimau modern awal dari India Selatan, atau biskuit dari Komune Paris, atau cangkir yang diselamatkan dari kapal karam Mediterania kuno, untuk mengubahnya menjadi alat untuk mengendus dan merasakan waktu. Perangkat dikerahkan demikian untuk melakukan dalih sejarah dan pertanyaan filosofis. Praktek Raqs di beberapa media; membuat instalasi, patung, video, performance, teks, leksika dan kurasi. Anggota Raqs Media Collective tinggal dan bekerja di Delhi, India. Pada tahun 2001, mereka mendirikan program Sarai di CSDS New Delhi dan menjalankannya selama satu dekade, di mana mereka juga mengedit seri Sarai Reader. Mereka adalah Direktur Artistik untuk Yokohama Triennale 2020, “Afterglow” yang baru saja ditutup, di mana mereka mengembangkan sumber seputar toksisitas, kepedulian, dan kilau persahabatan.
SESI I : Internet, Seni dan Gerakan Solidaritas Baru
Sejak awal internet populer di Indonesia, ia telah menjadi media komunitas yang memungkinkan terbangunnya solidaritas baru antar pengguna yang tersebar di berbagai wilayah. Kemampuan berjejaring internet ini sayangnya tidak serta merta netral, ia berada dalam platform-platform yang dikuasai elit dan sarat pengawasan. Meski demikian, praktik-praktik solidaritas digital ini terus menerus melahirkan bentuk baru yang lebih egaliter dengan memanfaatkan potensi unik penggunaan internet, seperti menjadi viral, anonim, atau peretasan. Sesi ini mencoba mendiskusikan bagaimana seniman atau aktivis menggunakan bentuk-bentuk seni di internet sebagai bentuk baru solidaritas. Lebih lanjut, sejauh mana praktik-praktik ini melahirkan definisi baru dari seni itu sendiri.
Moderator:
- Irham Nur Anshari merupakan staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pembina Unit Seni Rupa (USER) UGM. Mengajar beberapa mata kuliah seperti komunikasi visual, fotografi, kajian film, cyberculture, serta mengembangkan mata kuliah baru: media dan seni kontemporer. Tulisannya terkait seni kontemporer dimuat di beberapa media nasional maupun internasional, antara lain majalah Sarasvati dan situs Cobosocial. Irham merupakan salah satu penulis seri buku Pusaka Seni Rupa (2017), editor buku/katalog Biennale Jogja (sejak 2015), serta progammer Simposium Khatulistiwa (2020). Selain itu, ia juga banyak bekerja bersama seniman dan kurator sebagai peneliti, di antaranya untuk pameran di Gwangju (Korea Selatan), Gent (Belgia), Amsterdam (Belanda), dan Sharjah (UEA).
Speakers:
- Dr Annisa R. Beta saat ini adalah Dosen Kajian Budaya (Cultural Studies) di School of Culture and Communication, University of Melbourne, Australia. Sebelum pindah ke Melbourne, Annisa bekerja sebagai postdoctoral fellow di Department of Communications and New Media, National University of Singapore. Annisa adalah salah satu pendiri Anotasi dan Jaringan Etnografi Terbuka. Penelitiannya secara umum berkaitan dengan kaum muda, media baru, dan subjektivitas politik di Indonesia dan Asia Tenggara.
- Mega Nur Anggraeni Simanjuntak merupakan seorang penulis, peneliti, dan kadang-kadang menjadi desainer grafis serta editor yang bekerja secara independen. Ia memiliki ketertarikan terhadap isu keluarga, kedirian, generasi, relasi kuasa, dan internet. Jelajah isu tersebut menemui pertautannya dengan Studio Malya, sebuah kolektif berbasis di Yogyakarta, yang kemudian dituangkan melalui kekaryaan.
- Fellalia Hasna Hanifa menyelesaikan pendidikan studi S1 Sosiologi-nya pada tahun 2019, dan sekarang sedang menempuh pendidikan semester akhir S2 Sosiologi di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2022. Fellalia tertarik untuk mempelajari lebih jauh tentang Masyarakat dan Budaya Digital. Sejak 2015 hingga 2020 Fellalia aktif bergabung dengan Rampoe UGM (Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Budaya dan Tari Aceh) dan mengajar Tari Aceh sebagai kegiatan ekstrakurikuler di MAN 1 Yogyakarta dari 2017 hingga 2022.
SESI II : Seni dan Aktivisme di tengah Kapitalisme Mutakhir
Kapitalisme mutakhir menyisakan berbagai persoalan riil di berbagai pelosok negeri yang tidak henti-henti: mulai dari deforestasi, penyingkiran masyarakat adat, hingga kekerasan terhadap aktivis. Persoalan ini di satu sisi terus menerus coba diselesaikan melalui jalur formal, seperti penyusunan dan penerapan kebijakan baru yang lebih sadar kelas. Di sisi lain, tidak sedikit seniman atau aktivis yang menggunakan karya atau proyek seni untuk memberikan kontribusi dalam penyelesaian persoalan-persoalan riil ini. Sesi ini mencoba mendiskusikan bagaimana bentuk dan kontribusi dunia seni dalam mengatasi persoalan bawaan kapitalisme mutakhir. Apakah praktik-praktik kultural ini dapat diukur efektivitasnya jika disandingkan dengan langkah-langkah formal yang dilakukan secara politis?
Moderator:
- Manshur Zikri adalah kritikus seni independen yang kini tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Dia anggota Forum Lenteng dan pengurus situs web https://performanceart.id/. Ia pernah bekerja sebagai kurator dan manajer artistik di Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat dari tahun 2020 – 2022. Saat ini, dia juga tengah mengembangkan sebuah platform seni performans, bernama PROYEK EDISI, bersama sejumlah seniman muda di Yogyakarta.
Speakers:
- Rahma Azizah memutuskan hengkang dari Jogja dan mulai berkegiatan di Dieng untuk mengelola program residensi, setelah lulus dari prodi Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada. Dia sedang tertarik dengan konsep psychogeography, tetapi alih-alih menempatkannya pada ruang urban, ide tersebut coba diaplikasikan dalam ruang pedesaan tempat dirinya tinggal saat ini. Rahma pernah tergabung dalam kelompok studi tentang zine dan penerbitan mandiri bernama Indisczinepartij dan secara kolektif menulis di salah satu penerbitan independen.
- Natasha Devanand Dhanwani atau Natu, adalah seorang peneliti yang sedang mengemban tugas sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Thailand yang sedang menyelsaikan tesis S2-nya. Natu memfokuskan penelitiannya ke dalam kajian hak asasi manusia terutama pada kajian masyarakat akar rumput yang sedang memperjuangkan hak-hak mereka ketika menghadapi perusahaan-perusahaan yang berfokus pada pembangunan dan tambang.
- Benny Widyo seorang fotografer, desainer, dan kurator. Selama 2019, bersama kelompok Pendulum, Ia mengerjakan proyek berjudul Rest in Fear, yang dipamerkan pada Biennale Jogja XV. Kemudian, di akhir 2019, Benny menginisiasi Gulung Tukar, kelompok seni budaya multi disiplin yang berdomisili di Tulungagung. Ia fokus dan tertarik pada isu-isu sosial, kolektivisme, dan kesetaraan. Aktivitas kulturalnya belakangan ini terkait dengan pengembangan ekosistem seni budaya, terutama di daerah pinggiran.
SESI III : Gerakan Perempuan dan Dekolonisasi
Perspektif dekolonial dalam wacana feminisme menjadi satu titik pijak penting dalam perkembangan Gerakan perempuan di wilayah Global Selatan. Dekolonisasi feminis dan Gerakan perempuan ini merupakan respons terhadap pemikiran feminisme interseksional yang melihat pentingnya membangun pijakan Gerakan yang berakar dari situasi dan praktik kehidupan yang berbeda dari satu konteks budaya ke konteks budaya yang lain. Bagaimana Gerakan perempuan di Indonesia bergerak dalam spirit dekolonisasi, yang tidak saja menolak persepsi dan definisi yang tunggal atas feminisme dan persaudaraan perempuan, tetapi juga mengadvokasi Gerakan perempuan dari keragaman ras dan etnisitas nusantara, untuk keluar dari hegemoni wilayah-wilayah “pusat”? Sesi ini diharapkan dapat menunjukkan riset dan pembacaan yang berkait dengan sejarah Gerakan perempuan yang berada di luar narasi arus utama.
Moderator:
- Putu Sridiniari sekarang sedang menyelesaikan studi pascasarjana di Kajian Budaya (Ilmu Religi dan Budaya), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia terlatih sebagai desainer grafis di Universitas Pelita Harapan, di mana ia membuat instalasi konseptual dan berbagai seni cetak. Risetnya saat ini berfokus seputar politik spiritualitas dan estetika-pascakolonial di Bali.
Speakers:
- Astrid Reza menempuh pendidikan studi sejarah di Universitas Gadjah Mada, dengan fokus studi terkait dengan Sejarah Pencitraan Gerwani (2010). Bekerja sama dengan Stefanie Wuschitz (Austria) dalam riset sejarah untuk animasi “Coded Feminism in Indonesia” (2022). Dia juga menulis lepas di berbagai media, dari sastra sampai riset sejarah. Telah menerjemahkan berbagai buku bertema sosial, sejarah, feminisme dan sastra. Saat ini terlibat sebagai anggota aktif RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan) di Yogyakarta dan tengah menyusun proyek riset Periodisasi Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia.
- Amanatia Junda menulis fiksi sejak tumbuh remaja. Sehari-hari ia menjadi penulis dan editor lepas. Amanatia telah menerbitkan buku kumpulan cerpen Waktu untuk Tidak Menikah (2018) dan novela Kepergian Kedua (2020). Dalam perjalanannya, Amanatia aktif terlibat kegiatan seni budaya lintas komunitas. Ia sempat mengikuti Program Seniman Mengajar 2019 di Banda Neira, Maluku Tengah dan Program Residensi Penulis 2019 di Poso, Sulawesi Tengah. Amanatia juga bergabung dengan Perempuan Lintas Batas (Peretas), ruang produktif dan reproduktif bagi perempuan pekerja seni dengan semangat politik solidaritas feminis.
- Margareth Ratih Fernandez bekerja sebagai periset dan editor freelance untuk beberapa LSM dan penerbit, setelah lulus dari prodi Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta pada 2016. Empat tahun terakhir, ia bekerja sebagai staf redaksi di penerbit Buku Mojok sembari terus belajar menulis bersama teman-temannya di kolektif Perkawanan Perempuan Menulis.